
JAKARTA - Program mandatori biodiesel 50 persen atau B50 diprediksi akan memberi dampak signifikan terhadap pola konsumsi solar dan ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia pada tahun 2026.
B50 adalah program yang mewajibkan campuran antara bahan bakar minyak jenis solar dan 50 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang berasal dari CPO. Tujuan utamanya adalah menekan impor solar sekaligus memanfaatkan produksi minyak sawit domestik secara optimal.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menyatakan bahwa meski diperkirakan terjadi sedikit penurunan produksi sawit tahun depan, jumlahnya masih cukup untuk memenuhi target B50.
Baca JugaCek Harga BBM Pertamina Terbaru Oktober 2025 di Seluruh Wilayah
“Untuk menghasilkan biodiesel 50 tersebut memerlukan CPO sekitar 19 juta ton. Produksi CPO tahun depan diperkirakan sekitar 48 juta ton. Jadi masih mampu (untuk B50),” kata Tungkot.
Menurut Tungkot, konsumsi solar fosil di Indonesia saat ini sebagian besar masih bergantung pada impor. Sekitar 50 persen solar berasal dari produksi kilang domestik, sementara sisanya berasal dari impor. Program B50 diharapkan dapat menggantikan solar impor tersebut, sehingga ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dari luar negeri berkurang secara signifikan. “Yang disasar dengan program mandatori biodiesel adalah substitusi solar impor tersebut. Sehingga jika B50 direalisasikan, impor solar otomatis tidak perlu lagi,” jelasnya.
Kapasitas kilang biodiesel domestik juga dipastikan cukup untuk mendukung implementasi B50. Tungkot menambahkan, kapasitas kilang biodiesel nasional tahun depan diproyeksikan mencapai 22 juta kiloliter, sementara kebutuhan bahan baku CPO hanya 19 juta ton. Dengan perhitungan ini, produksi biodiesel domestik bisa mencapai 21 juta kiloliter, sehingga target B50 masih realistis.
Namun, potensi penurunan ekspor CPO menjadi tantangan tersendiri. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat adanya kemungkinan penurunan ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 1 hingga 1,5 juta ton sepanjang tahun ini. Eddy Martono, Ketua Umum Gapki, menekankan bahwa tren penurunan ekspor ini berimplikasi langsung terhadap pembiayaan B50, yang berasal dari Pungutan Ekspor (PE) CPO.
“Kalau dengan kondisi produksi seperti saat ini sepertinya sulit karena ekspor pun ada kecenderungan turun, sedangkan B50 akan dibiayai dari Pungutan Ekspor (PE) sawit,” kata Eddy. Ia juga mengingatkan pentingnya menyeimbangkan antara kebutuhan domestik dan ekspor agar industri sawit tetap stabil dan berkelanjutan.
Sebagai gambaran, produksi CPO pada 2024 tercatat sebesar 52 juta ton, dengan konsumsi domestik mencapai 23,8 juta ton atau sekitar 45,2 persen dari total produksi. Sementara itu, proyeksi produksi tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 53,6 juta ton. Namun ekspor diprediksi turun menjadi 27,5 juta ton karena tingginya konsumsi domestik yang dialokasikan untuk B50.
Kendati demikian, Tungkot menilai bahwa target B50 tetap dapat dicapai dengan manajemen produksi dan distribusi yang tepat. Selain itu, program ini akan memperkuat ketahanan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada solar impor. Kebijakan ini sekaligus memberikan nilai tambah bagi industri sawit dalam negeri dengan memanfaatkan CPO untuk kebutuhan domestik.
Program B50 bukan hanya soal energi, tetapi juga soal strategi ekonomi dan industri. Dengan meningkatnya pemakaian FAME dari CPO, pemerintah menargetkan perputaran ekonomi di sektor hilir sawit lebih optimal. Produsen CPO, kilang biodiesel, dan sektor transportasi akan saling terhubung dalam rantai pasok yang lebih berkelanjutan.
Meski ada tantangan dari sisi ekspor, pemerintah optimistis program B50 dapat berjalan dengan baik melalui koordinasi antara kementerian terkait dan pelaku industri. Pengawasan ketat terhadap produksi, distribusi, serta harga jual solar campuran menjadi kunci agar target mandatori biodiesel dapat tercapai tanpa mengganggu stabilitas pasar CPO global.
Dengan implementasi B50, Indonesia berpotensi menekan impor solar secara signifikan, mengurangi defisit neraca energi, sekaligus memberikan stimulus bagi industri sawit domestik. Program ini juga diharapkan dapat menjadi model transisi energi yang memadukan pemanfaatan sumber daya lokal sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Tantangan terbesar ke depan adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan domestik dan komitmen ekspor. Produksi CPO harus dikelola secara efisien agar cukup untuk program B50 sekaligus memenuhi permintaan ekspor, menjaga posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia.
Dengan langkah-langkah strategis ini, target B50 tahun 2026 dapat terealisasi. Pemerintah bersama pelaku industri sawit diharapkan mampu memastikan bahwa setiap liter biodiesel dari CPO domestik memberi manfaat ekonomi maksimal bagi negara, mengurangi ketergantungan impor solar, dan tetap mempertahankan posisi Indonesia di pasar global.

Mazroh Atul Jannah
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
5 Drama Korea Lee Jun Ho Wajib Tonton di Netflix
- 10 Oktober 2025
2.
Keistimewaan Hari Jumat, Ini 5 Alasan Berselawat Nabi
- 10 Oktober 2025
3.
Uji Tabrak Ungkap Cacat Komponen, Hyundai Santa Fe Kena Recall
- 10 Oktober 2025
4.
BMKG Peringatkan Hujan Merata di Kota Besar Indonesia Hari Ini
- 10 Oktober 2025
5.
Cuaca Ekstrem Akibat Sirkulasi Siklonik, BMKG Waspadai 5 Wilayah
- 10 Oktober 2025